Entri Populer

Kamis, 04 November 2010

Cara Mudah Mencari Berkah

Segala puji bagi Allah, Maha Pemberi Keberkahan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Barokah atau berkah selalu diinginkan oleh setiap orang. Namun sebagian kalangan salah kaprah dalam memahami makna berkah sehingga hal-hal keliru pun dilakukan untuk meraihnya. Coba kita saksikan bagaimana sebagian orang ngalap berkah dari kotoran sapi. Ini suatu yang tidak logis, namun nyata terjadi. Inilah barangkali karena salah paham dalam memahami makna keberkahan dan cara meraihnya. Sudah sepatutnya kita bisa mendalami hal ini.
Makna Barokah
Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan seseorang agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk meraup berkah atau “ngalap berkah”.
Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung dua makna di atas.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.[3]
Seluruh Kebaikan Berasal dari Allah
Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah.[4]
Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
Seluruh kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no. 771)
Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Dan nikmat ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).
Kita telah mengetahui bahwa setiap kebaikan dan nikmat, itu berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan barokah. Maka ini menunjukkan bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan berasal dari Allah semata.[5]
Berbagai Keberkahan yang Halal
Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.
Perlu diketahui bahwa keberkahan yang halal bisa ada dalam hal diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari keduanya. Contoh yang mencakup keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus adalah keberkahan pada Al Qur’an Al Karim, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.  Keberkahan seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan bulan Ramadhan, keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja semisal pada tiga masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan masjidil aqsho. Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan pada air hujan, pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan hewan ternak.[6]
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Keberkahan yang halal di atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang menunjukkannya, kadang pula dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari kebaikan yang amat banyak yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal duniawiyah bisa diperoleh jika digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika digunakan bukan pada ketaatan, itu bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[7]
Contoh Ngalap Berkah yang Halal
Kami contohkan misalnya keberkahan orang sholih, yaitu orang yang sholih secara lahir dan batin[8], selalu menunaikan hak-hak Allah. Di antara keberkahan orang sholih adalah karena keistiqomahan agamanya. Karena istiqomahnya ini, dia akan memperoleh keberkahan di dunia yaitu tidak akan sesat dan keberkahan di akhirat yaitu tidak akan sengsara[9]. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thoha: 123).
Keberkahan orang sholih pun terdapat pada usaha yang mereka lakukan. Mereka begitu giat menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang pun mendapat manfaat. Itulah keberkahan yang dimaksudkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang-orang sholih yang berilmu sebagai pewaris para nabi.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi”.[10]
Keberkahan juga bisa diperoleh jika seseorang berlaku jujur dalam jual beli. Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang”.[11]
Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah[12] Yang dimaksud dengan kedermawanan dirinya, jika dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti ia tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan jika dilihat dari orang yang memberikan harta, maksudnya adalah ia mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang.[13]
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.”[14]
Begitu pula keberkahan dapat diperoleh dengan berpagi-pagi dalam mencari rizki. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta.[15]
Ngalap Berkah yang Keliru
Ngalap berkah yang keliru di sini karena tidak ada dasar pegangan dalil yang kuat di dalamnya. Di sini kami akan contohkan beberapa hal yang termasuk ngalap berkah yang keliru.
Pertama: Tabarruk dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.
Di antara yang terlarang adalah tabaruk dengan kubur beliau. Bentuknya adalah seperti meminta do’a dan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi kubur beliau. Semisal seseorang mengatakan, “Wahai Rasul, ampunilah aku” atau “Wahai rasul, berdo’alah kepada Allah agar mengampuniku dan menunjuki jalan yang lurus”. Perbuatan semacam ini bahkan termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat bentuk permintaan yang hanya Allah saja yang bisa mengabulkannya.[16]
Juga yang termasuk keliru adalah mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengambil berkah dari kuburnya dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa barangsiapa yang menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menziarahi kubur para nabi dan orang sholih lainnya, termasuk juga kubur para sahabat dan ahlul bait, ia tidak dianjurkan sama sekali untuk mengusap-usap atau mencium kubur tersebut.”[17] Imam Al Ghozali mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan adalah adat Nashrani dan Yahudi”.[18]
Kedua: Tabarruk dengan orang sholih setelah wafatnya.
Jika terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan tabarruk dengan kubur beliau dengan mencium atau mengusap-usap kubur tersebut, maka lebih-lebih dengan kubur orang sholih, kubur para wali, kubur kyai, kubur para habib atau kubur lainnya. Tidak diperkenankan pula seseorang meminta dari orang sholih yang telah mati tersebut dengan do’a “wahai pak kyai, sembuhkanlah penyakitku ini”, “wahai Habib, mudahkanlah urusanku untuk terlepas dari lilitan hutang”, “wahai wali, lancarkanlah bisnisku”. Permintaan seperti ini hanya boleh ditujukan pada Allah karena hanya Allah yang bisa mengabulkan. Sehingga jika do’a semacam itu ditujukan pada selain Allah, berarti telah terjatuh pada kesyirikan.
Begitu pula yang keliru, jika tabarruk tersebut adalah tawassul, yaitu meminta orang sholih yang sudah tiada untuk berdo’a kepada Allah agar mendo’akan dirinya.
Ketiga: Tabarruk dengan pohon, batu dan benda lainnya.
Ngalap berkah dengan benda-benda semacam ini, termasuk pula ngalap berkah dengan sesuatu yang tidak logis seperti dengan kotoran sapi (Kebo Kyai Slamet), termasuk hal yang terlarang, suatu bid’ah yang tercela dan sebab  terjadinya kesyirikan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun pohon, bebatuan dan benda lainnya ... yang dinama dijadikan tabarruk atau diagungkan dengan shalat di sisinya, atau semacam itu, maka semua itu adalah perkara bid’ah yang mungkar dan perbuatan ahli jahiliyah serta sebab timbulnya kesyirikan.”[19]
Perbuatan-perbuatan di atas adalah termasuk perbuatan ghuluw terhadap orang sholih dan pada suatu benda. Sikap yang benar untuk meraih keberkahan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah dengan ittiba’ atau mengikuti setiap tuntunan beliau, sedangkan kepada orang sholih adalah dengan mengikuti ajaran kebaikan mereka dan mewarisi setiap ilmu mereka yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Inilah tabarruk yang benar.
Penutup
Dari penjelasan di atas, sebenarnya banyak sekali jalan untuk meraih keberkahan atau ngalap berkah yang dibenarkan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mencukupkan dengan hal itu saja tanpa mencari berkah lewat jalan yang keliru, bid’ah atau bernilai kesyirikan. Carilah keberkahan dengan beriman dengan bertakwa pada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-GK, 27 Sya’ban 1431 H (7 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Menggunjingkan Kebaikan, bukan Keburukan

Dalam suatu majlis, seorang ulama besar dipuji oleh jamaahnya. Sifatnya yang baik disanjung-sanjung, dan kebajikannya dibesar-besarkan sampai ulama tersebut merasa malu.
"Cukuplah saudara-saudara," kata sang ulama untuk menghentikan sanjungan, "Sesungguhnya saya ini tak lebih bagaikan burung merak."
"Apa maksud kiai?"
"Ya, merak dipuji karena bulunya yang bagus. Tapi burung itu sendiri malu karena kakinya yang pendek. Begitu pula yang terjadi pada diri saya. Kalian hanya tahu kebajikan saya karena kalian dapat melihat dengan mudah. Segalanya memang terbuka, tetapi kalian tidak dapat melihat kekurangan dalam hati saya dan berbagai cacat yang tersembunyi. Cuma saya yang tahu.
Karena rasa malu itulah, maka saya selalu menundukkan kepala, bersujud di hadapan-Nya. Karena hanya Dia-lah yang tahu keadaan saya yang sebenarnya, bahkan yang tidak saya ketahui."
Barulah para jamaah tersadar, bahwa tidak seharusnya asyik memuji orang di depannya.
Pujian itu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi sangat menguntungkan, di sisi lain sangat membahayakan. Pujian bisa menumbuhkan motivasi dan citra diri. Sebaliknya pujian bisa berbalik menjadi racun yang dapat merusak sendi-sendi keimanan. Ia dapat mengubah seseorang menjadi pongah dan sombong.
Penguasa, tokoh masyarakat, atau ulama pada mulanya adalah orang biasa. Akan tetapi setelah menduduki posisi yang amat penting, mereka sering mendapatkan pujian, penghormatan dan ketaatan. Pada mulanya mereka risih juga menerima perlakuan tersebut, tapi lama-kelamaan menjadi biasa. Bahkan pada taraf berikutnya mereka merasa kurang dihargai jika tidak dihormati. Jika dalam suatu acara tidak diberi tempat terdepan, mereka mereka tersinggung. Jika dalam suatu pidato tidak disebutkan "yang terhormat" atau "yang mulia", mereka bisa berulah.
Dari hal yang remeh dan kecil ini ternyata eksesnya cukup besar. Seorang penguasa menjadi diktator setelah mendapat pujian dan sanjungan dari rakyatnya sendiri. Seorang tokoh menjadi angkuh setelah mendapatkan berbagai kehormatan duniawi. Seorang ulama bisa juga menjadi sombong jika terus-menerus memperoleh pujian seperti ini.
Bukan hanya salah Fir'aun jika ia menjadi seorang diktator, bahkan mengangkat dirinya sebagai tuhan. Ada andil yang juga sangat besar sesungguhnya, dari para menteri dan segenap jajaran di bawahnya.
Suatu ketika seorang presiden diberi gelar sangat panjang, juga jabatan seumur hidup oleh wakil rakyat. Apa yang terjadi kemudian? Tak lama setelah itu ia menjadi diktator. Kekuasaannya menjadi sangat mutlak, sehingga rakyat memberontak dan akhirnya menggulingkannya.
Sebuah pujian akan sangat membahayakan jika tidak tepat sasaran. Untuk itu, jika kita ingin memberi pujian hendaklah terlebih dahulu memikirkan dampaknya. Jangan asal memuji.
Sebelum memuji kita harus bertanya, siapa yang kita puji, di mana kita memujinya, dan kapan kita berikan pujian tersebut, dan bagaimana cara memujinya? Jika salah menempatkan pujian, bukan kebaikan yang kita dapatkan, tapi justru kehancuran.
Pertanyaan "siapa", harus kita jawab dengan seberapa ketangguhan iman seseorang menerima pujian tersebut. Jika tidak, akan berubah menjadi kesombongan.
Ajaran Islam tidak mengharamkan seratus persen terhadap pujian. Pujian bisa menjadi positif jika dilakukan secara tepat. Ia akan berubah menjadi motivasi dan dorongan yang kuat bagi seorang muslim untuk melakukan berbagai amal kebaikan. Nabi Muhammad sendiri banyak memberikan motivasi kepada sahabatnya dengan memberi pujian ini. Salah satu caranya adalah dengan memberi gelar atau nama julukan kepada para sahabatnya yang berprestasi.
Sahabat paling dekat yang selalu membenarkan apa saja yang datang dari Rasulullah, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal seperti isra dan mi'raj, yaitu Abu Bakar, diberi gelar ash-Shiddiq. Gelar ini sangat populer sehingga banyak di antara sahabat yang memanggilnya cukup dengan menyebut gelarnya saja, misalnya 'Ya Ash-shiddiq'.
Umar bin Khaththab yang sangat dikenal keberaniannya dalam membela kebenaran diberi nama tambahan 'Al-Faruq', yang berarti pembeda. Disebut demikian karena Umar selalu tampil membawa kebenaran dan memperjuangkannya dalam keadaan bagaimanapun juga. Sikap itu menimbulkan rasa takut pada kalangan musuh, termasuk syetan.
Ali bin Abi Thalib mendapat gelar 'Baabul-'ilm', pintu ilmu pengetahuan. Sebutan ini pas dikenakan Ali karena keluasan ilmunya. Dalam sebuah hadits disebutkan, "'Aku,' kata Rasulullah, 'adalah gudangnya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.'" Tak salah jika dalam masa pemerintahan Khalufa'ur-Rasyudin, ia selalu tampil sebagai penasehat khalifah, untuk kemudian pada gilirannya ia sendiri ditunjuk menjadi khalifah yang keempat.
Banyak lagi sahabat yang mendapatkan gelar kehormatan dari Rasulullah. Hamzah diberi gelar penghulu para syuhada, Khalid bin Walid diberi gelar saifuddin, pedang agama. Demikian juga sahabat lainnya. Masing-masing mendapat gelar sesuai dengan prestasinya.
Pujian yang diberikan oleh Nabi dengan cara seperti ini sangat positif dalam menumbuhkan rasa percaya diri. Sahabat yang menerima pujian ini tidak kemudian merasa sombong dan pongah, sebab terlebih dahulu Nabi telah menjajaki tingkat keimanannya. Pujian itu tidak meracuni dan merusak imannya, bahkan sebaliknya, justru memupuk dan menumbuhsuburkannya.
Dalam keadaan-keadaan tertentu, pujian bisa bernilai sangat positif. Seorang anak akan merasa sangat senang jika dipanggil dengan sebutan yang baik. Ia akan bangga jika dipanggil 'si manis', 'sayang', 'kakak yang baik hati', atau sebutan-sebutan lainnya. Bahkan seorang istripun akan merasa bahagia jika suaminya memanggilnya dengan pujian yang baik. Itulah sebabnya Rasulullah sering memanggil istrinya, 'Aisyah dengan panggilan "Ya Khumaira", wahai permataku. Betapa tingginya penghargaan Rasulullah kepada istrinya. Suatu apresiasi yang luar biasa.
Dalam konsep Islam, seorang muslim tidak diperkenankan menghinakan dirinya di hadapan manusia, sebagaimana ia juga dilarang berbuat sombong. Seorang muslim hendaknya selalu menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Itulah sebabnya orang tua tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama-nama yang kurang baik, apalagi yang bisa merusak harga diri anak. Demikian juga, diharamkan bagi semua muslim memanggil seseorang dengan panggilan buruk yang tidak disukai oleh yang dipanggil atau yang bisa merusak harga dirinya. Laqab-laqab seperti itu akan merusak dan membinasakan kepribadian manusia.
Itulah sebabnya sangat dibutuhkan kebijaksanaan. Orang tua yang baik adalah yang bijak. Pemimpin yang baik adalah yang bijak. Demikian juga teman yang baik adalah mereka yang bijak. Mereka tahu kapan harus memberikan pujian. Mereka tahu momen yang tepat dan tempat yang pas.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memberikan pujian kepada orang lain di saat yang dipujinya itu tidak sedang berada di depannya. Menggunjingkan kebaikan orang lain itu sangat dianjurkan. Sebaliknya menggunjingkan keburukan teman merupakan perbuatan tercela dan dosa. Diharamkan bagi semua kaum muslimin melakukannya. Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Hujuraat: 12)

Belanjakan Harta Karena Allah

Abu Thalhah adalah seorang anshar terkaya di Madinah. Hartanya banyak melimpah-ruah. Dan kekayaan yang paling di sukainya adalah sebuah taman yang dinamainya Bairaha. Letaknya berhadapan dengan masjid, dan bahkan Rasulullah saw pernah masuk ke dalam taman itu dan meminum airnya. Ternyata air itu rasanya manis.
Ketika turun ayat, "Sekali-kali kamu tidak dapat mencapai kebajikan yang sempurna sehingga kamu nafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai..." (QS Ali 'Imran: 92) maka Abu Thalhah menemui Rasulullah saw, untuk mensedekahkan harta yang paling disukainya itu.
Turunnya wahyu surah Ali Imran: 92 itu, bagi Abu Thalhah dirasa sebagai teguran untuk dirinya.
Betapa besarnya ketaatan dan kepatuhan Abu Thalhah terhadap hukum Allah ini. Keyakinannya akan karunia Allah yang besar menyebabkan ia tidak segan sedikitpun untuk menyerahkan harta yang paling dicintainya. Tidak ada timbang-pikir panjang yang dapat mengurangi keyakinannya. Di hadapan matanya yang ada hanyalah betapa karunia Allah dan berkah-Nya akan melimpah bila perintah itu dipatuhinya. Ia meyakini penuh, di balik perintah Allah itu tersembunyi pemberian yang jauh lebih berharga dari apa yang dimiliki dan dikaguminya. Allah akan melimpahkan rezeki dan mengganti barang yang telah diinfaqkan dengan sesuatu yang lain yang lebih istimewa.
"Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan pembayarannya kepada mereka. Dan bagi mereka pahala yang banyak." (QS al-Hadiid: 18)
Berinfaq pada dasarnya suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Fungsinya agar hamba-hamba Allah merasa terus berhubungan mesra dengan penciptanya. Supaya terasa bahwa Allah itu selalu mengiringi gerak langkah yang kita ayun. Ke mana saja berjalan dan di mana saja berada, senantiasa Allah mengawasi dan mendampingi. Itu yang perlu selalu dirasakan.
Fungsi lain dari infaq adalah sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul, dan untuk memperoleh rahmat dari Allah berupa surga. Bila kita termasuk orang-orang yang didoakan Rasulullah saw niscaya akhir dari kehidupan kita akan memperoleh kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang tiada tara.
 
Jangan keliru
Dalam menginfaqkan harta jangan sampai salah alamat. Berikanlah kepada orang-orang yang telah Allah kabarkan dalam al-Qur'an. Allah memerintahkan untuk menginfaqkan harta kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, orang-orang yang meminta-minta, orang-orang fakir yang terikat jihad di jalan Allah, dan orang-orang yang terlilit utang.
Tidak tepat sasaran bila menginfaqkan harta kepada orang orang yang mampu dan tidak membutuhkannya. Atau kepada orang-orang yang telah mencicipi kesenangan dunia dan bergelimang dengan kekayaan. Pemberian yang salah alamat itu hanya menghasilkan kesia-siaan karena Allah tidak mensyariatkannya.
 
Dengan penuh keikhlasan
Menafkahkan harta kepada orang-orang yang telah ditentukan Allah haruslah dengan keridhaan, karena Allah semata. Janganlah menyembut-nyebutnya dan menyakiti hati perasaan si penerima.
Orang yang menginfaqkan harta tapi mengiringinya dengan rasa riya, ingin dipuji dan disanjung, Allah swt umpamakan seperti meletakkan tanah di atas batu licin, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat hingga bersih dan licin kembali. Suatu kerugian perniagaan bila demikian halnya. Bukan keuntungan yang didapat, tapi kebangkrutan.
Orang seperti demikian, Allah gambarkan pula seperti seorang yang mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Kebun itupun ditumbuhi pula segala macam buah-buahan. Orang tersebut umurnya semakin tua, sedang dia mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Kebun tersebut sudah dipersiapkan untuk bekal anak-anaknya. Namun tiba-tiba ditiup angin keras yang mengandung api, hingga terbakar.
Sedang harta yang dinafklahkan hanya untuk Allah dan karena Allah, Dia umpamakan seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram air hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun sudah cukup memadai. Inilah perniagaan yang sangat menguntungkan. Perolehan labanya berlipat-ganda. Hasil perdagangan yang memuaskan, menenteramkan dan menyenangkan.
Dengan rasa ridha dan ikhlas dalam menafkahkan harta, akan muncul suatu kenikmatan yang begitu besarnya. Jiwa terasa lapang dan bersih. Ada muncul ketenangan, keteguhan dan kenyamanan hidup, dan perassan yang selalu memberikan hiburan tersendiri.
Yang dapat beramal seperti itu hanyalah orang yang memiliki iman di hatinya. Tanpa iman, pembelanjaan harta selalu dengan hanya perhitungan untung rugi di dunia.
Orang-orang kafir menafkahkan hartanya selalu mempunyai harapan-harapan di balik itu. Ada strategi dan nilai politisnya. Ada tujuan dan cita-cita yang akan digapai. Ada keinginan yang harus terealisir, dst.
Bahkan yang lebih tragis, mereka itu menafkahkan harta kekayaannya untuk menghalangi orang dari jalan Allah. Mereka berikan harta kekayaannya kepada orang atau organisasi-organisasis yang memusuhi ummat Islam. Atau kepada negara-negara yang menindas kaum yang mengabdi kepada Allah.
Bukan rahasia lagi, bahwa kaum kuffar Amerika dan negara-negara Eropa telah berlangsung begitu lama mengucurkan hartanya kepada orang-orang Israel yang menjegal kaum muslimin.
Allah swt mewanti-wanti kita untuk tidak risau. Bahkan suatu saat mereka akan dikalahkan.
"Sesungguhnya orang-orang kafir itu, manafkahan harta mereka untuk menghalangi dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka. Dan mereka akan dikalahkan. Dan ke neraka jahanamlah orang-orang yang kafir itu di kumpulkan." (QS al-Anfal: 36)


DENGAN CINTA, SEMUA JADI DAMAI

Cinta adalah ruh kehidupan penyepuh hati dan rasa aman bagi anak manusia. Bila hukum grafitasi dapat menahan bumi dan planet-planet sehingga tidak berbenturan, terbakar dan hancur berantakan, maka hukum cinta (kasih sayang) adalah hal yang dapat mempertahankan hubungan manusia sehingga tidak berbenturan lalu terbakar dan menjadi peperangan. Itulah nilai cinta yang sudah dikenal manusia sejak dahulu sampai deasa ini. Mereka mengatakan, "Seandainya kasih sayang mendominasi kehidupan, manusia tidak lagi memerlukan keadilan dan undang-undang."
Seorang ulama salaf mengatakan, "Cinta kasih dapat mengubah pahit menjadi manis, debu menjadi emas, kotor menjadi jernih, sakit menjadi sembuh, tahanan menjadi taman, derita menjadi nikmat. Itulah cinta kasih yang melunakkan besi, meluluhkan batu, membangkitkan orang mati dan meniupkan kehidupan.
Seorang sastrawan menulis, "Tampak dari kejauhan cahaya menyinari lautan, bagaikan bintang memberi penerangan, aku ingin di masa mendatang menjadi seperti bintang ini, siapa yang tidak ingin seperti bintang ini di masa depnnya? Apa yang terjadi? Ilmu hanya memberikan pemikiran yang kering, kerja hanya memberikan cucuran keringat dan kebencian. Harta hanya memberikan rasa khawatir, ketakutan dan kesulitan.
Cinta kasih itulah mutiara satu-satunya yang memberikan rasa aman, ketenangan dan kedamaian. Kami mencintai segala-galanya, bahkan kami mencintai bencana sebagaimana kami mencintai kenikmatan. Cinta kasih dapat membangkitkan kekuatan untuk melawan, lalu jiwa tergugah bangkit seolah-olah melompat. Disamping itu cinta kasih adalah angin segar yang mendinginkan panasnya pertikaian. Kami mencintai kehidupan, adakah orang yang mencintai seperti ini? Bila dapat melakukannya sungguh ia adalah pahlawan." Sesungguhnya orang yang dapat bercinta kasih seperti ini hanyalah orang-orang yang memperoleh manisnya iman di hatinya. Iman adalah satu-satunya sumber cinta kasih yang jernih dan abadi. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah, satu-satunya yang dapat mencintai segala sesuatu walaupun pada bencana, duka cita. Ia mencintai alam ini awal dan akhirnya, hidup dan mati.
 
MENCINTAI ALLAH.
 Orang yang beriman, dengan aqidahnya ia dapat menembus rahasia alam, sehingga ia mencintai Allah pemberi kehidupan, sumber segala yang ada, sumber pertolongan dan bantuan. Ia akan mencintai Allah seperti cinta seseorang pada keindahan, ia telah melihat jejak ciptaannya di alam yang kokoh ini. "Dia-lah dzat yang telah memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan." (QS. As-Sajdah: 7)
Ia mencintai Allah karena menusia mencintai kesempurnaan. Pada hakekatnya tiada kesempurnaan selain kesempurnaan Allah SWT. Segala fenomina kesempurnaan yang serba relatif, yang kita lihat itu tidak lain adalah atom-atom yang bersumber dari-Nya dan membutuhkan-Nya.
Ia mencintai Allah karena ia mencintai perbuatan baik. Jiwa manusia mempunyai watak mencintai orang yang berbuat baik padanya. Lantas perbuatan baik manakah yang dapat menyamai perbuatan Dzat yang telah menciptakannya dari tiada, dan menjadikannya sosok manusia yang sempurna? Lebih dari itu lagi, Allah telah menundukkan semesta alam ini hanya untuk manusia. "Apakah kalian tidak melihat bahwa Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan di bumi." (QS. Luqman: 20)
Karenanya cintanya kepada Allah, mestinya melebihi cinta seorang manusia kepada kedua orangtuanya, bahkan melebihi cinta kepada istri, anak dan dirinya sendiri. Ia mencintai segala sesuatu yang datang dari hatinya dan segala sesuatu yang dicintai Allah. Ia mencintai kitabnya yang diturunkan untuk melepaskannya dari dari kegelapan menuju terang benderang, mencintai nabinya yang diutus sebagai rahmat kepada alam semesta, mencintai setiap manusia pelaku kebaikan dan perdamaian. Ia berdo'a seperti do'a Rasulullah SAW, "Ya Allah, berilah aku karunia mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang Kau cintai, dan jadikanlah cintamu itu lebih aku sukai daripada air yang dingin."
 
MENCINTAI ALAM.
Seorang mu'min mencintai alam seluruhnya sebagaimana ia mencintai Tuhannya. Karena alam adalah jejak-jejak Tuhannya. "Ia-lah dzat yang menciptakan dan menyempurnakan dan menentukan dan membimbing." (Q.S. Al-Qamar: 49)
Alam bukanlah manusia, akan tetapi ia adalah makhluk yang ditundukkan untuk berkhidmat pada manusia agar dapat membantunya melaksanakan tugas kekhalifahannya di bumi. Segala sesuatu yang ada di alam bertasbih membesarkan nama Allah dengan bahasa yang kadang-kadang tidak dipahami oleh anak manusia. "Langit yang tujuh dan bumi dan orang-orang yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya, tiada sesuatupun kecuali bertasbih kepada-Nya, akan tetapi kalian tidak memahami tasbihnya." (Q.S. Al-Isra': 4)
Alam ini tidak jahat yang harus dihancurkan segera, akan tetapi merupakan kitab Allah, terbuka untuk orang yang dapat membaca dan buta huruf sekalipun. Di situ terbaca ayat-ayat kekuasaan, rahmat, kebesaran, dan nikmat-Nya. Tiada satupun di alam ini diciptakan sia-sia tanpa makna. Semuanya menjalankan fungsinya sesuai kehendak Allah SWT untuk kelangsungan kehidupan sampai tiba ajalnya dan untuk berkhidmat kepada khalifah yang terhormat (manusia).
Sebagian manusia melihat kegelapan dengan suatu pandangan takut dan benci, dan melukiskannya sebagai dewa kejahatan yang memerangi dewa sinar dan kebajikan, maka bagaimanakah perasaan mereka memahami malam, sementara separo waktu berupa malam?
 
MENCINTAI HIDUP DAN KEMATIAN.
 Seorang mu'min mencintai hidup seperti ia mencintai alam. Kehidupan bukanlah penjara yang harus dijauhi, akan tetapi merupakan missi yang harus dilaksanakan dan nikmat yang harus disyukuri. "Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan mati dan memohonnya sebelum datang kepadanya, karena sesungguhnya bila ia mati terputus amalnya dan bertambah umur seorang mukmin bertambah kebaikannya." (HR. Muslim)
Orang mukmin mencintai hidup karena dengannya ia dapat menegakkan hak Allah di bumi, dan iapun mencintai mati karena dengan kematianlah ia dapat dengan segera menemui Tuhannya. "Barangsiapa mencintai bertemu dengan Allah, maka Allahpun mencintai bertemu dengannya." (HR. Bukhari-Muslim)
Sewaktu Rasulullah disuruh memilih antara bertemu dengan Tuhannya dan menetap di dunia ini, beliau bersabda, "Aku memilih sahabat tertinggi." Ketika Ali ibnu Abi Thalib RA ditikam oleh Abdurrahman ibnu Muljam, ia berkata : "Demi Tuhan pemilik Ka'bah! Aku beruntung." Ketika Bilal menjelang mati istrinya menjerit, "Oh betapa sedihnya!" Mendengar itu Bilal berkata kepadanya, "Jangan berkata begitu tapi berkatalah, 'Betapa senangnya!' Esok aku akan bertemu sahabat-sahabatku tercinta, Muhammad dan sahabat-sahabat tercintanya."
Khalid ibnu Walid ketika mengirim surat kepada panglima perang tentara Parsi atau Romawi ia mengakhiri suratnya setelah menyeru untuk berdamai dan masuk Islam dengan ucapan, "Dan jika tidak, aku akan mengirimkan kepada kalian satu kaum yang mencintai maut seperti kalian mencintai hidup."
 
MENCINTAI SESAMA MANUSIA.
 Orang mukmin mencintai sesama manusia, karena mereka adalah saudara, teman mengabdi kepada Allah. Mereka semua adalah satu nasab, keturunan dan juga memiliki satu tujuan dan satu lawan. Satu keturunan, seperti firman Allah, "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."(QS. An-Nisaa': 1)
Aqidah Islam tidak membatasi faktor etnis, seorang muslim berkeyakinan bahwa semua manusia adalah dari Adam. Perbedaan bahasa, warna kulit hanya sebagai dalil akan kekuasaan Allah, keagungan pencipta pencipta, dan ayat dari ayat-ayat-Nya.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Ar-Ruum: 22)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Zaid ibnu Arqam, ia berkata, "Rasulullah SAW setiap selesai shalat berdo'a. "Ya Allah Tuhan kami dan Tuhan segala-galanya, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, Ya Allah Tuhan kami dan Tuhan segala-galanya, aku bersaksi bahwa hamba-hamba seluruhnya adalah bersaudara."
Betapa tingginya kedudukan ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia) dalam jiwa seorang muslim. Ukhuwah ini menempati peringkat setelah tauhid (mengesakan Allah) dan pengakuan kerasulan Muhammad SAW.
Al-Qur'an mengajarkan kepada muslim untuk menghormati sesama makhluk apapun, termasuk binatang melata, serangga dan burung-burung. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami apakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan." (QS. Al-An'aam: 38).
Rasulullah bersabda, "Seandainya anjing-anjing itu bukan suatu ummat dari ummat, tentu aku perintahkan untuk dibunuh."
Demikianlah sikap mental seorang mukmin kepada manusia. Tidak menonjolkan faktor etnis, fanatik daerah, tidak membenci tingkat sosial masyarakat, tidak hasud pribadi, akan tetapi rasa cinta kasih dan persaudaraan bagi manusia.
Seorang mukmin dengan aqidahnya ia mencintai alam seluruhnya, ia mencintai Allah, alam, mencintai hidup dan mati, mencintai takdir, manis dan pahitnya, mencintai manusia seluruhnya, dan hanya membenci syetan dan kelompoknya dengan kebencian yang dibarengi rahmat dan kasih sayang dan cinta kebaikan untuk manusia seluruhnya. Cinta kasih seperti ini merupakan bukti imannya kepada Tuhannya dan penuntunnya ke surga, tepatlah sabda Nabi SAW, "Demi dzat yang diriku berada di tangannya, tidak akan dapat masuk surga sebelum kalian beriman dan tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai."

Rabu, 03 November 2010

Memelihara Kedamaian Hati

Salah satu tanda kepribadian seorang muslim itu adalah berdzikir. Kita dianjurkan berdzikir setiap saat, dari bangun hingga tidur kembali. Secara harfiah, arti dzikir adalah mengingat Allah dengan menyebut nama-nama-Nya.
Insya Allah, dengan membiasakan lidah untuk mengucap kalimat-kalimat thayyibah, akan semakin mempertinggi ma'rifat kita kepada Allah swt. Dengan dekat kepada Allah, hati jadi tenang. Berikut ini adalah tujuh kalimat thayyibah yang harus menjadi penghias bibir umat setiap waktu.
 
1. Bismillahirrahmanirrahim.
Diucapkan setiap kita mengawali segala perbuatan. Insya Allah, jika lidah kita terbiasa, perbuatan ini sudah menjadi refleks kita, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menjaga diri dari perbuatan buruk. Karena senantiasa kita diingatkan bahwa ada Allah yang melihat perbuatan kita.
Kalimat ini sekaligus mengingatkan kita, bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, termasuk diri kita yang hina ini. Juga setiap perbuatan kita, hendaknya semua berada di garis yang ditetapkan Allah.
Dalam sebuah hadis Rasulullah menyatakan, "Bahwa setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan kalimat basmalah, maka perbuatan itu tak berkah."
2. Alhamdulillah
Inti dari ucapan dzikir ini adalah ungkapan rasa syukur atas karunia dan rahmat Allah swt. Sesungguhnyalah, pancaran perasaan syukur adalah energi kehidupan yang sangat besar bagi manusia. Mereka yang paling banyak bisa bersyukur, berarti telah memiliki yang terbanyak dibanding orang lain. Mengenai hal ini difirmankan dalam QS. Ibrahim ayat 7, bahwa Allah akan menambah rahmat nikmat-Nya kepada mereka yang mampu bersyukur.
Dengan mengucap kalimat ini setiap selesai melakukan satu pekerjaan, manusia seakan menguatkan keyakinannya bahwa tak akan pernah terjadi sesuatupun tanpa campur tangan Allah. Jika sesuatu itu baik, dirasakan sebagai pertolongan Allah. Jika sesuatu itu kurang baik, tetap disyukuri dengan berkeyakinan bahwa itupun sudah lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Dan manakala seseorang telah terbiasa mengucap syukur untuk hal-hal yang kecil, maka ketika Allah menganugerahkan nikmat yang sedikit lebih besar, maka kenikmatan yang dirasakan orang tersebut akan berlipat ganda.
3. Astaghfirullah
Difirmankan dalam QS. Ali Imran 135, "Orang-orang yang berbuat kekejian atau menzalimi dirinya lalu ingat kepada Allah, maka minta ampunlah untuk mereka atas dosa-dosa yang dilakukan."
Sungguh Maha Suci Allah Yang Maha Sempurna. Setelah Ia ciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang secara sunnatullah bisa berbuat khilaf, sekaligus Ia berikan 'obat' bagi kekhilafan tersebut. Bagi mereka yang pandai meminum obat ini, maka mereka tak akan terserang penyakit hati yang lebih serius. Allah Maha Pengampun, terutama bagi siapapun yang segera bertobat begitu sadar telah berbuat khilaf.
Ummat Islam harus membasahkan bibir mereka dengan istighfar ini, sehingga noda-noda dosa yang sempat menempel sedikit demi sedikit setiap hari tidak segera menumpuk menjadi noktah hitam yang tebal. Semakin lama noda-noda ini tertumpuk, akan menjadi semakin sulit untuk menghilangkannya. Maka benarlah bahwa kebanyakan kesalahan besar berawal dari kekeliruan-kekeliruan kecil yang tidak dibenahi.
Sayangnya, seringkali manusia terlambat menyadari kekhilafannya itu. Untuk menghindari keterlambatan tobat, maka dianjurkan untuk istiqamah mengucapkan dzikir ini setiap hari, terutama setelah shalat, walau dirasakan tak ada kesalahan yang diperbuat. Rasulullah saw sendiri, yang sudah dijamin ma'shum, (terjaga dari dosa), dalam sehari mengucap istighfar setidaknya 100 kali.
4. Insya Allah
Diucapkan ketika seseorang berniat hendak melakukan sesuatu di masa yang akan datang. Dzikir ini akan mengingatkan kita, bahwa kehendak Allah adalah di atas segalanya. Tak seorangpun mengetahui apa yang akan terjadi detik setelah ini. Itu sebabnya, tak akan pernah ada janji yang diikat 100 % antar manusia, kecuali dengan menambahkan kalimat, Insya Allah (QS. Al Kahfi, 23-24).
Sayangnya, banyak orang mempergunakan kalimat ini secara keliru, hingga berkembang anggapan bahwa kalimat mulia ini diucapkan sebagai kelonggaran untuk tidak menepati janji. Perbuatan umum ini banyak menggejala dalam sebagian masyarakat, sehingga membuat banyak orang memandang negatif kalimat ini.
Adalah tanggung jawab kita bersama, kaum muslim, untuk meluruskan pandangan ini. Dimulai dengan diri kita sendiri. Mari kita buktikan bahwa ucapan Insya Allah bukan berarti niat untuk melanggar. Akan tetapi sebagai ikatan janji yang sudah pasti akan ditepati secara logika manusia, disertai kepasrahan terhadap kehendak Allah yang sewaktu-waktu bisa membuyarkan rencana.
5. Laa Haula walaa quwwata illaa billaah.
Dzikir yang merupakan pengakuan terhadap kefanaan manusia dan ke-Maha Kuasanya Allah ini diucapkan ketika seseorang mengambil keputusan (ber'azam). Kalimat thayibah ini adalah pancaran dari sikap tawakal seseorang. Setelah berupaya nyata mempertimbangkan, maka ketika keputusan diambil, dilanjutkan dengan tawakal kepada Allah, yang dinyatakan dalam sikap menerima resiko apapun yang terjadi nantinya akibat diputuskannya keputusan tadi. (Qs Ali Imran : 159).
6. Laa Ilaaha Illallah
Banyak hadis nabi Muhammad yang menyebutkan keutamaan kalimat thayibah ini. Bahkan disebutkan pula sebagai kunci pintu surga. Dalam prakteknya, masih banyak muslim yang terus menerus melafalkan kalimat ini dalam setiap kesempatan, sayangnya, masih hanya sekedar refleks bibir saja.
Padahal, andai seseorang mengucapkan dzikir ini sembari mengupas hikmahnya, sungguh nikmat dan manfaatnya akan diperoleh tiada habis-habisnya. Karena penjabaran arti dari kalimat ini begitu luasnya. Dan manfaatnya pun bisa dirasakan di setiap waktu dan dalam kondisi apapun. Intinya satu; mengingat kebesaran Allah SWT.
7. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun
Sungguh benar bahwa manusia adalah milik Allah, dan setiap inci pergerakan tubuhnya beradadalam genggaman Nya. Namun kenyataan bahwa segala sesuatu itu pasti kembali kepada pemiliknya, Allah SWT, tak jarang sulit untuk bisa diterima manusia. Dzikir yang diucapkan di saat menghadapi musibah ini akan membantu kita untuk mengingat akan hal ini.
Insya Allah, dengan membiasakan meresapi hikmah kalimat ini, kita menjadi lapang dada dalam menghadapi setiap peristiwa, seburuk apapun, yang sudah menjadi takdir kita. Semakin dalam seseorang menghayati hikmah dzikir ini, semakin ringan dia menghadapi kehidupan yang berat ini, tanpa harus menghadapi stress maupun depresi.